Bismillahirrohmanirrohim,
Kisah tentang Teladan Cinta dalam hidupku, dan Teladanku menjadi Wanita Sholeha Bekal Calon BidadariNya.
-------
Salah seorang wanita dunia yang memiliki
keistimewaan di syurga dan menjadi junjungan seluruh penghuni syurga termasuk
bidadari adalah Fatimah Az-Zahra (anak dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallam dengan Khadijah binti Khuwalid). Fatimalah yang merupakan satu-satunya
puteri yang paling dikasihi oleh Rosulullah selepas kewafatan isterinya yang
paling dicintai.
Fatimah lah wanita terkemuka di dunia dan penghuni syurga di
akhirat yang memahami sifat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fatimah
dalam jodohnya dipilihkan oleh Rosulullah bukanlah memandang harta, tetapi
memandang agamanya. Meskipun semua laki-laki yang melamarnya tidaki meragukan
agamanya dan kesholehannya, Rosulullah dengan pertimbangan lain justru Ali bin
Abi Thalib yang dipilihnya untuk dijadikan suami anak kesayangannya itu.
Bersuamikan Ali bin Abi Thalib bukanlah
satu kebanggaan yang menjanjikan kekayaan harta. Karena Ali bin Abi Thalib
adalah salah seorang daripada empat sahabat yang sangat rapat dengan Rasulullah
merupakan sahabat yang sangat miskin berbanding dengan yang lain (Abu Bakar
Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan). Namun jauh di sanubari
Rasulullah tersimpan perasaan kasih dan sayang yang sangat mendalam terhadap
Ali bin Abi Thalib.
Rasulullah pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,
"Fatimah lebih kucintai daripada
engkau, namun dalam pandanganku engkau lebih mulia daripada dia."
(HR
Abu Hurairah).
Dengan demikian wanita pilihan untuk lelaki pilihan.
Fatimah
mewarisi akhlak ibunya Siti Khadijah. Tidak pernah membebani dan menyakiti
suami dengan kata-kata atau sikap. Senantiasa senyum menyambut kepulangan suami
hingga hilang separuh masalah suaminya. Dengan mas kawin hanya 400 dirham,
dia memulakan penghidupan dengan wanita yang sangat dimuliakan Allah di dunia
dan di akhirat.
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah, dengan menggadaikan baju
besinya kepada Ustman bin Affan itulah, dan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Rosulullah berkeras agar ia membayar
cicilannya. Itu hutang.
Kemudian Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah
dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah
menikahkannya dengan maskawin empat ratus fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali
ridha (menerima) mahar tersebut.”.
Selanjutnya Rasulullah mendoakan
keduanya:
“Semoga Allah
mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.”
(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
Dalam suatu kisah menceriterakan tentang
keadaan rumah tanggal Ali bin Abi Thalib yang hidup miskin dan serba kekurangan
setelah menikah dengan Fatimah binti Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai anakku bersabarlah. Sesungguhnya sebaik-baik
wanita adalah yang bermanfaat bagi keluarganya”.
Itulah jawaban
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Fatimah mengadukan keadaan
keluarganya.
Suatu ketika, Rosulullah keluar dari rumah
Fatimah dengan tanda-tanda kemarahan di wajahnya. Padahal beliau baru saja
sampai di rumah Fatimah. Sikap itu sebagai reaksi beliau atas penampilan
anaknya yang mengenakan giwang dan rantai terbuat dari perak, serta selot pintu
rumah yang terbuat dari bahan sejenis perak.
Karena memahami sifat Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fatimah segera mencopot perhiasan dan selot
pintu dan menyerahkannya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seraya berkata. :
“Jadikanlah
semua ini di jalan Allah, ya ayahku”.
Rosulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat terharu, dan bersabda
“Sungguh kamu telah melakukannya, wahai anakku.
Ketahuilah, dunia ini bukan untuk Muhammad dan keluarganya. Seandainya dunia
ini bernilai di sisi Allah sebesar sayap nyamuk, tak akan ada orang kafir
diberi minum setetespun”.
Bukannya Ali bin Abi Thalib tidak mau
menyediakan seorang pembantu untuk isterinya tetapi memang keadaan kefakiranlah
yang sedemikian rupa. Ali bin Abi Thalib pun cukup memaklumi isterinya yang
setiap hari menguruskan anak-anak, memasak, membasuh dan menggiling tepung, dan
yang lebih memenatkan lagi bila terpaksa mengambil air melalui jalan yang
berbatu-batu jauhnya sehingga kelihatan tanda di bahu kiri dan kanannya.
Suami
mana yang tidak saying kepada isterinya. Pada suatu ketika bila Ali bin Abi
Thalib berada di rumah turut menyinsing lengan membantu istrinya
menggiling tepung di dapur. "Terima
kasih suamiku," bisik Fatimah kepada suaminya. Usaha sekecil
itu, di celah-celah kesibukan sudah cukup berkesan dalam membelai perasaan
seorang isteri.
Suatu hari, Rasulullah masuk ke rumah
anaknya, didapati puterinya (Fatimah) yang berpakaian kasar itu sedang mengisar
biji-biji gandum dalam linangan air mata. Fatimah segera mengesat air matanya
tatkala menyedari kehadiran ayahanda kesayangannya itu. Lalu ditanya oleh
baginda,
"Wahai buah
hatiku, apakah yang engkau tangiskan itu? Semoga Allah menggembirakanmu.".
Dalam nada sayu,
Fatimah berkata,
"Wahai
ayahanda, sesungguhnya anakmu ini terlalu penat kerana terpaksa mengisar gandum & menguruskan segala urusan rumah seorang diri. Wahai ayahanda, kiranya tak
keberatan bolehkah ayahanda meminta suamiku menyediakan seorang pembantu
untukku?".
Rosulullah tersenyum seraya bangun mendapatkan
kisaran tepung itu. Dengan lafaz Bismillah, Rosulullah meletakkan segenggam
gandum ke dalam kisaran itu. Dengan izin Allah, maka berpusinglah kisaran itu
dengan sendirinya. Hati Fatimah sangat terhibur dan merasa sangat gembira
dengan hadiah istimewa dari ayahandanya itu. Habis semua gandumnya dikisar dan
batu kisar itu tidak akan berhenti selagi tidak ada arahan untuk berhenti,
sehingga Rasulullah menghentikannya.
Bersabdalah Rasulullah dengan kata-kata
yang masyhur,
"Wahai
Fatimah, Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadaku untuk menjadi emas, namun
ayahanda memilih untuk keluarga kita kesenangan di akhirat."
Jelas, Rasulullah mau mendidik puterinya bahwa kesusahan bukanlah penghalang
untuk menjadi solehah.
Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya
dengan pandangan kasih sayang,
"Puteriku,
mahukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta
itu?".
"Tentu sekali ya Rasulullah," jawab Siti
Fatimah kegirangan.
Rasulullah bersabda,
"Jibril telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap
kali selesai sembahyang, hendaklah membaca 'Subhanallah' sepuluh kali,
Alhamdulillah' sepuluh kali dan 'Allahu Akbar' sepuluh kali. Kemudian ketika
hendak tidur baca 'Subhanallah', 'Alhamdulillah' dan 'Allahu Akbar' ini
sebanyak tiga puluh tiga kali."
Ternyata amalan itu telah memberi kesan
kepada Siti Fatimah. Semua pekerjaan rumah tangga dapat dilaksanakan dengan
mudah dan sempurna meskipun tanpa pembantu rumah. Itulah hadiah istimewa dari
Allah buat hamba-hamba yang hatinya sentiasa mengingatiNya.
Suatu hari masuklah Rasulullah menemui
anandanya Fathimah az-Zahra radhiallahu ‘anha didapati anandanya sedang
menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan
tangan dari batu sambil menangis.
Rasulullah bertanya kepada anandanya,
“Apa yang menyebabkan engkau menangis
wahai Fathimah?, Semoga Allah tidak menyebabkan matamu menangis”.
Fathimah berkata, “Ayahanda,
penggilingan dan urusan-urusan rumahtanggalah yang menyebabkan ananda
menangis”.
Lalu duduklah Rasulullah di sisi anandanya.
Fathimah
melanjutkan perkataannya, “Ayahanda
sudikah kiranya ayahanda meminta ‘aliy (suaminya) mencarikan ananda seorang
jariah untuk menolong ananda menggiling gandum dan mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan di rumah”.
Mendengar perkataan anandanya ini maka
bangunlah Rasulullah mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan
tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan
tangan itu seraya diucapkannya “Bismillaahirrahmaanirrahiim”.
Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah. Rasulullah
meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk anandanya dengan
tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya
bertasbih kepada Allah dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir
syair itu digilingnya.
Rasulullah berkata kepada gilingan
tersebut, “Berhentilah
berputar dengan izin Allah”, maka penggilingan itu berhenti
berputar. Lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah yang berkuasa
menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata.
Maka katanya dalam bahasa Arab
yang fasih,
“Ya Rasulullah,
demi Allah, Tuhan yang telah menjadikan baginda dengan kebenaran sebagai Nabi
dan Rasul-Nya. Kalaulah baginda menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq
dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah
mendengar dalam kitab Allah suatu ayat yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka
mengerjakan apa yang dititahkan”.
Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba
menjadi batu yang masuk ke dalam neraka.
Rasulullah kemudian bersabda kepada
batu penggilingan itu,
“Bergembiralah
karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fathimah az-Zahra di dalam
syurga”.
Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita
itu kemudian diamlah ia.
Rasulullah bersabda kepada anandanya,
“Jika Allah menghendaki wahai Fathimah,
niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah
menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya
beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat.
Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling
tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah menuliskan untuknya dari
setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu
derajat.
Ya Fathimah perempuan mana yang berkeringat
ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah menjadikan antara dirinya
dan neraka tujuh buah parit.
Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyaki
rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka
Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada
seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang
bertelanjang.
Ya Fathimah, perempuan mana yang
menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah akan menghalanginya dari meminum
air telaga Kautshar pada hari kiamat.
Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu
semua adalah keridhaan suami
terhadap istrinya. Jikalau
suamimu tidak ridha denganmu tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau
ketahui wahai Fathimah bahwa ridha suami itu daripada Allah dan kemarahannya
itu dari kemarahan Allah?.
Ya Fathimah, apabil seseorang perempuan
mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan
Allah akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan
darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah
mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni
berperang sabil. Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya
seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal
tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan
didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman sorga, dan Allah
akan mengkaruniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta
beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.
Perempuan mana yang melayani suaminya dalam
sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Allah
akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah akan memakaikannya sepersalinan
pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut
yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikaruniakan Allah untuknya seribu
pahala haji dan umrah.
Ya Fathimah, perempuan mana yang tersenyum
dihadapan suaminya maka Allah akan memandangnya dengan pandangan rahmat.
Ya Fathimah perempuan mana yang
menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menata rumah untuk
suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit (malaikat),
“Teruskanlah amalmu maka Allah telah
mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan
datang”.
Ya Fathimah, perempuan mana yang
meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya serta
menggunting kukunya maka Allah akan memberinya minuman dari sungai-sungai sorga
dan Allah akan meringankan sakarotulmaut-nya, dan akan didapatinya kuburnya
menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga seta Allah akan
menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian
Shirat”. (Syarah ‘Uquudil lijjaiin-Syaikh
Muhammad Nawawi Al-Bantani).
Sekarang apa rahasia Ali bin Abi
Thalib mencintai Fathimah?
Fathimah adalah teman karib semenjak kecil, puteri
tersayang Rosulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rosulullah
yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya
maupun kecerdasannya.
Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah
memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya
(Rosulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi
perut unta. Ia bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar
perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis.
Muhammad ibn ’Abdullah (sang
ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis
cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para
pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang
Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu
berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Ali
bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah
laku Fatimah) disebut cinta?.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari
mendengar kabar yang mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki
yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang
membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman
dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali bin Abi Thalib.
Ia merasa diuji karena
merasa, apalah ia dibanding dengan Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar
lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali bin
Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam
hijrah sementara Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk menanti
maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar
berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang
masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah,
Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib)
semasa kanak-kanak kurang pergaulan. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang
dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga
Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.
Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa
membahagiakan Fathimah. Ali bin Abi Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga
miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi Thalib.
”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”.
Cinta tak pernah
meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya.
Dan
cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah
menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar
ditolak, dan Ali bin Abi Thalib terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan
diri menyambut Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu
Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut
dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan
kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar bin Khaththab memang masuk
Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan
dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab dan Hamzah yang mampu memberikannya pada
kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali bin Abi Thalib mendengar sendiri betapa
seringnya Nabi berkata, ”Aku
datang bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar
dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab..”.
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba
bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin Khaththab
melakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi,
dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rosulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di
siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan
bersembunyi.
Umar bin Khaththab telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan
berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim,
atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’.
Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib),
sekali lagi sadar.
Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak,
dia pemuda yang belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah!
Tidak. Umar bin Khaththab jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib
pun ridha.
Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk
menanti. tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya.
Dan cinta itu
membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung
ketika mendengar kabar lamaran Umar bin Khaththab juga ditolak.
Ingin menantu macam apa kiranya yang
dikehendaki Rosulullah? Yang seperti ’Utsman bin Affan, sang miliyader yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri Ali bin Abi Thalib. Di
antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau
justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan
dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan
itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan
lamunannya.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar
Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”.
”Aku?”,
tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”.
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa
kuandalkan?”.
”Kami
di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ali bin Abi Thalib pun menghadap
Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya
menikahi Fathimah.
Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang
menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah
persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun
untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas
waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
”Engkau pemuda
sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang
siap bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya terjawab, ”Ahlan wa sahlan!” .
Kata
itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi Thalib pun
bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan
sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk
menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan
kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah,
itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan?
Bagaimana lamaranmu?”.
”Entahlah..”.
”Apa maksudmu?”.
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’
berarti sebuah jawaban ?”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka.
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja
sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga.
Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”.
Dan ’ Ali bin Abi Thalib pun menikahi
Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar
bin Khattab, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan
janji-janji dan nanti-nanti.
Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa
fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” .
Inilah jalan
cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan
tanggung jawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’ Ali bin Abi Thalib. Ia
mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan, dan
yang kedua adalah keberanian.
Ternyata tak kurang juga yang dilakukan
oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan
aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada
seorang pemuda”.
Ali bin Abi
Thalib terkejut dan berkata,
“Kalau
begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”.
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah
dirimu”.
Kemudian Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi
Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin
empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar
tersebut.”.
Selanjutnya, Rasulullah mendoakan keduanya:
“Semoga Allah
mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
Demikian yang dapat disampaikan, semoga
dapat mengambil hikmahnya baik dari sisi si laki-laki maupun sisi perempuan
dimana Ali bin Abi Thalib dan Fathimah merupakan dua orang hamba yang menghuni
syurga.
Terima kasih atas note-note dari saudara Maulana Malik Ibrahim, saudara
Muhammad Al-Farizi dan saudari Ummi Hayfa yang tergabung dalam Group Menata
Hati, semoga amalnya dapat dibalas oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala…amiin.
Bilahit taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
(MM 24052011)